Jumat, 25 Maret 2011

LOGIKA DEFUNDAMENTALISME AGAMA




Barang siapa yang membaca teks (al-Qur’an dan sunnah) dari hari ke hari dengan interpretasi yang stagnan maka dia tergolong orang yang merugi. (Ibn-Arabi).
Satu demi satu teroris di Indonesia sudah terbunuh, mulai Azhari, Amrozi, sampai Noordin M. Top yang dianggap sebagai otak teroris di Indonesia. Pertanyaannya adalah, apakah terorisme di Indonesia sudah tamat? Gembong terorisme di indonesia sudah tamat tetapi tidak dengan “terorisme”, ini berarti pengeboman atau teror di negeri ini belum selesai. Dengan kata lain, teroris di Indonesia sudah menjadi bahaya “laten” persis dengan trade mark bahaya laten untuk PKI zaman Orde Baru dulu. Karena itu, kita harus waspada dan mengantisipasi keberadaannya. Bagi kelompok agama garis keras (fundamentalis), melakukan kekerasan dan bahkan pengeboman terhadap orang lain dikatakan perjuangan (jihad) yang sangat mulia kedudukannya di sisi Tuhan, bahkan tidak bisa ditawar-tawar untuk ditunda. Inilah eksekusi mati bukan menjadi penghalang, namun justru ada harapan dan janji masuk surga. doktrin yang mereka bangun dan dikembangkan kepada para anggota.
Inilah kekuatan jihad mereka yang tidak pernah padam. kekuatan doktrin inilah sebenarnya yang sulit distop  dan ditaklukkan oleh siapapun dan dengan perlawanan apapun. Fundamentalisme merupakan gejala keagamaan yang muncul dari semua agama, di mana pun dan kapan saja. Dalam wacana agama, fundamentalisme adalah paham yang berjuang menegakkan kembali norma-norma dan keyakinan agama tradisional untuk menghadapi sekularisme. Fundamentalisme Islam populer di kalangan Barat setelah terjadi revolusi Iran pada 1979. Menurut E. Marty fundamentalisme mempunyai dua prinsip. Pertama memiliki prinsip perlawanan (opposition), yaitu perlawanan terhadap segala bentuk yang dianggap membahayakan eksistensi agama, baik dalam bentuk modernisme, sekularisme maupun westernisasi. Kedua, penolakan terhadap hermeneutika.  Kelompok fundamentalis menolak sikap kritis terhadap teks dan interpretasinya.  Menurut kelompok ini, teks harus dipahami sebagaimana adanya karena nalar dianggap tidak mampu memberikan interpretasi yang tepat terhadap teks. Oleh sebab itu kelompok ini  juga disebut tekstualis skripturalis. Alasan munculnya fundamentalisme Islam adalah adanya perasaan kaum muslim, termasuk orang yang berpendidikan tinggi bahwa mereka berada dalam bahaya karena kehilangan identitas Islam yang dikikis oleh Barat.
 Kelompok  fundamentalis menegaskan, di sebuah negara muslim, kaum non muslim harus diturunkan tingkatannya sehingga statusnya lebih rendah di hadapan kaum muslim. Lebih jauh, kaum non muslim tidak diperbolehkan mendirikan gereja atau sinagog yang lebih tinggi dari pada masjid, dan mereka harus dinomorduakan dari orang muslim dalam kegiatan sosial sehari-hari. Termasuk, orang muslim dilarang mengawali salam damai kepada nonmuslim. Bersandar beberapa karya ahli hukum klasik, kalangan fundamentalisme getol memperjuangkan teologi yang dikenal dengan sebutan al-wala’ wa al-bara’ (doktrin loyalitas dan pemisahan). Doktrin ini menyatakan bahwa kaum muslim hanya wajib peduli, berinteraksi, dan berteman hanya kepada sesama muslim.
Lantas apa yang harus dilakukan untuk mengantisipasi dan membendung bahaya fundamentalisme dan terorisme di Indonesia ini? Paling tidak harus ada dua hal yang harus dilakukan. Pertama, menegakan supremasi hukum secara serius. Kedua, mereorientasi pemahaman agama  di lembaga pendidikan (sekolah maupun perguruan tinggi). Secara simultan pemerintah bersama masyarakat hendaknya menegakkan hukum untuk membendung bahaya laten terorisme. Pemerintah tidak bisa lagi kecolongan oleh kelompok-kelompok asing yang bisa keluar masuk Indonesia seenaknya sendiri, sebagaimana yang terjadi selama ini, meski dengan negara tetangga sekalipun. Di lembaga pedidikan, hendaknya ditanamkan pendidikan agama yang menanamkan doktrin agama moderat (alhanifiyyah al-samhah), agama damai (din rahmah), bukan agama kekerasan dan fundamentalis. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar