MUHAMMAD SEBAGAI TOKOH SEJARAH
Dosen: Dr. M. Abdul Karim, M.A., M.A
By: Abdul Rachman

  1. A. Pendahuluan
Sejak mula kehadirannya, agama-agama besar dunia diakui berwatak subversivf terhadap kekuasaanyang ada di sekitarnya. Karena memang demikianlah cita agama dirumuskan, mengubah tata nilai lama ke dalam tata nilai baru. Itulah sebabnya, Nabi Musa, Isa dan Muhammad SAW. Dicap sebagai pemberontak oleh “penguasa” di mana mereka hidup. Dari berabagai kisah mereka kita dapat menyaksikan bagaimana Musa menjadi antagonis bagi Fir’aun nan lalim, Isa menjadi oposan bagi imperialis Byzantium, dan Muhammad SAW. menjadi penghancur sendi-sendi wewenang dan wibawa para bangsawan Quraisy. Mereka layak disebut sebagai tokoh revolusioner.
Sosok seorang Nabi-revolusioner, memadukan dua peran: peran sebagai seorang nabi yang menerima wahyu ilahi dan dibimbing oleh kebenaran ilahiyah; dan peran seorang revolusioner atau seorang pemberontak yang membawa tatanan social yang sudah usang dan mentrasformasikannya ke model-model dan pola-pola prilaku, pemikiran, emosi dan moral manusia yang sesuai dengan kebenaran wahyu. [1]
Nabi Muhammad yang hidup di Jazirah Arab yang merupakan wilayah pinggiran (terpencil) bagi masyarakat imperial Timur Tengah dalam posisinya sebagai negara yang perkembangannya sebanding dengan perkembangan negara-negara zaman kuno dan tidak terlibat dengan perkembangan negara-negara lainnya di wilayah ini. Jazirah Arab merupakan komunitas besar yang secara khusus tetap mempertahankan pengaruhnya, sementara institusi perkotaan, keagamaan dan institusi kerajaan tidak mengalami perkembangan, sekalipun semua institusi tersebut tetap berlangsung. Jikalau dunia imperial pada umumnya merupakan masyarakat agrokultural, Jazirah Arab bertahan sebagi masyarakat pastoral (mengembala). Ketika dunia imperial pada umumnya merupakan wilayah perkotaan, Jazirah Arab sebagai negeri perkemahan dan oasis. Ketika masyarakat dunia imperial mengembangkan keyakinan monotheistic, masyarakat Arab pada umumnya sebagai penganut paganisme. Ketika dunia imperial secara politik terorganisir secara baik, maka Arab secara politik tercerai berai.[2]

  1. B. Peradaban Arab Pra-Islam
Beberapa saat sebelum Islam diperkenalkan dan diperjuangkan oleh Muhammad sebagai pondasi peradaban baru, bangsa Arab dan bangsa-bangsa yang ada di sekitarnya telah memiliki peradaban. Secara berturut-turut diungkapkan berbagai aspek peradaban Arab pra-Islam, diantaranya wilayah, golongan bangsa Arab, ekonomi, agama, dan politik.

  1. 1. Wilayah
Arab atau biasa dikenal dengan sebutan Jazirah arab karena bagian daratannya menjorok ke laut, secara geografis terletak di wilayah yang strategis yaitu berada di antara tiga benua antara lain benua Asia, Eropa dan Afrika. Seolah-olah merupakan jantung dari belahan bumi ini dan juga merupakan persimpangan jalan antara barat dan timur, ini terbukti dengan letak posisinya:
  1. Bagian utara berbatasan dengan daratan Siria (Syam dan sungai efrat).
  2. Bagian selatan berbatasan dengan Samudera Hindia (Indonesia).
  3. Bagian barat berbatasan dengan laut merah.
  4. Bagian timur berbatasan dengan Teluk Persia (Teluk Arab/ Laut Oman).
Jazirah Arab terbagi menjadi dua bagian besar yaitu : bagian tengah dan bagian pesisir. Di sana tidak ada sungai yang mengalir tetap, yang ada hanya lembah-lembah berair di musim hujan. Sebagian besar daerah Jazirah adalah padang pasir Sahara yang terletak di tengah dan memiliki keadaan dan sifat berbeda-beda, karena itu Jazirah Arab dibagi menjadi tiga bagian :[3]
  1. Sahara Langit memanjang 140 mil dari utara ke selatan dan 180 mil dari timur ke barat, disebut juga Sahara Nufud. Oase dan mata air sangat jarang, tiupan angin seringkali menimbulkan kabut yang mengakibatkan daerah ini sukar ditempuh.
  2. Sahara Selatan yang membentang menyambung Sahara Langit ke arah timur sampai selatan Persia. Hampir seluruhnya merupakan dataran keras, tandus dan pasir bergelombang. Daerah ini juga disebut dengan al-Rub’ al-Khali (bagian yang sepi).
  3. Sahara Harrat, suatu daerah yang terdiri dari tanah liat yang berbatu hitam bagaikan terbakar. Gugusan batu hitam itu menyebarkan di keluasan Sahara ini, seluruhnya mencapai 29 buah.

  1. 2. Golongan Bangsa Arab
Apabila dilihat dari asal usul keturunan, penduduk jazirah Arab berasal dari dua golongan keturunan besar yaitu:[4]
  1. Qahthāniyūn (keturunan Qahthan) adalah Arab asli, tempat-tempat mereka yang utama adalah Yaman.
  2. ‘Adnāniyūn (keturunan Ismail ibn Ibrahim) adalah arab cabang, tempat-tempat mereka yang utama adalah Hijaz.
Sejarawan muslim membagi penduduk arab menjadi tiga kategori, yaitu:[5] Arab al-Bā’idah (Arab kuno), Arab al-Arabiyah (Arab pribumi), Arab al-Musta’ribah. Eksistensi Arab kuno sudah tidak diketahui sejarah. Orang arab pribumi adalah keturunan dari qhahtān yang lebih populer dengan Arab Yaman, sedang yang terakhir adalah keturunan dari nenek moyang Nabi Ismail yang datang dan berdiam di Hijaz (Mekkah), Tahama, Nejad, Palmerah, dan lain-lain yang lebih dikenal sebagai penduduk Arab Utara. Dilihat dari tempat tinggal mereka juga terbagi menjadi dua kelompok, yaitu kelompok al-Hadharah (penduduk kota) dan kelompok ahl al-Badiyah (penduduk gurun pasir). Karena keadaan geografis dan kondisi alam sangat mempengaruhi pranata social, tata cara, ekonomi, dan politik bangsa, maka terlihat adanya perbedaan di antara kedua kalangan Arab tersebut.
Orang gurun pasir kebanyakan tinggal di Arab Utara yang buta huruf dan tidak maju (nomads). Ahli sejarah arab tidak dapat menemukan sejarah mereka pada zaman kuno. Mereka mencatat periode itu sebagai al-Ayyam al-Jahiliyah (the day of the darkness: masa-masa kegelapan).[6] Faktor geografis inilah yang sangat mempengaruhi sifat dan perilaku masyarakat arab yang mungkin terkasan keras, walaupn itu tidak semua.[7]
Meskipun orang Arab berperan dalam gelanggang politik, misalnya Kerajaan Saba’ dan Kerajaan Yaman di Arab Selatan, Kerajaan Petra di Jerusalem, Kerajaan Palmerah dan Gassan di Syam, serta Kindah di Arab Tengah, Namun mereka hidup dalam klan atau kabilah. Setiap kabilah terdiri dari beberapa sub-kabilah atau lebih populer dengan istilah arab, Qaum (suku). Kadang-kadang beberapa kaum-suku mengadakan perjanjian persahabatan untuk hidup damai yang disebut al-Ahlāf. Hidup bersama-sama kabilah dan juga mematuhi peraturan kabilah atau kepala suku (shekh) adalah wajib. Bukan hanya itu, meskipun mereka sangat mencintai keluarga, namun dalam hal kehormatan kabilah adalah di atas segalanya. Semangat (spirit) kekabilahan tersebut oleh Ibnu Khaldun disebut dengan istilah ­al-Ashabiyah.[8]

  1. 3. Perekonomian
Salah satu aspek penting perekonomian di Arab pra Islam adalah pertanian. Dua ratus tahun sebelum kenabian Muhammad (610 M), masyarakat Arab setelah mengenal peralatan pertanian semi-modern, menggunakan hewan ternak dalam menggarab lahan. Masyarakat Arab telah mampu membuat bendungan raksasa yang dinamakan Ma’arib. Dari bendungan inilah mereka membuat system irigasi. Namun, setelah bendungan itu rusak dan tidak berfungsi era kesejahteraan mereka juga hancur.[9]
Di samping pertanian, perdagangan adalah unsur penting dalam perekonomian masyarakat Arab. Mereka telah lama mengenal perdagangan bukan saja dengan sama masyarakat Arab, tetapi juga dengan masyarakat non Arab. Kemajuan perdagangan bangsa Arab memungkinkan antara lain karena pertanian yang telah maju. Kemajuan tersebut ditandai dengan adanya kegiatan ekspor impor yang mereka lakukan. Para pedagang Arab Selatan dan Yaman saat 200 tahun menjelang Islam datang, telah mengadakan transaksi dengan India (Asia selatan sekarang), negeri pantai Afrika, sejumlah negeri Teluk Persia, Asia Tengah dan sekitarnya. Selain itu juga dari aspek peternakan juga memberikan kontribusi dalam perekonomian Arab walaupun tidak begitu mempengaruhi.
Salah satu tempat yang dijadikan sentral perdagangan dan kegiatan pada masa Arab pra-Islam adalah kota Mekkah. Alasan yang menjadikan Mekkah sebagai sentral karena pertama, Mekkah merupakan kota suci yang banyak dikunjungi oleh orang baik dari luar negeri maupun macanegara karena terdapat bangunan ka’bah. Kedua, di Ukaz (Mekkah) terdapat pasar sebagai tempat pertukaran barang dari berbagai belahan dunia dan tempat berlangsungnya perlombaan kebudayaan (puisi Arab). Oleh karena itu Mekkah tidak hanya sebagai pusat perdagangan local melainkan sudah menjadi pusat perdagangan internasional.[10]

  1. 4. Agama
Agama merupakan naluri dari kehidupan manusia, dalam arti kata, agama sangat dibutuhkan untuk menjaga kestabilan dan keseimbangan kejiwaan manusia (psikis) yang fungsinya tidak kalah penting dengan makan dan minum. Demikian pula dengan bangsa arab walaupun bagaimana jahil dan bejat moralnya, tapi mereka masih mengenal agama, menurut konsep akal pikiran nenek moyang yang mereka warisi turun-temurun, sehinggal timbullah bermacam-macam agama seperti agama Hanif; Yahudi, Nasrani, Zoroaster dan dewa (berhala). [11]
Walaupun agama Hanif, Yahudi, Nasrani, Zoroaster sudah masuk ke Jazirah Arab, bangsa Arab kebanyakan masih menganut agama asli mereka, yaitu percaya kepada banyak dewa yang diwujudkan dalam bentuk berhala dan patung. Setiap kabilah mempunyai berhala sendiri. Berhala-berhala tersebut dipusatkan di Ka’bah, meskipun di tempat-tempat lain juga ada. Berhala-berhala yang terpenting adalah Hubal, yang dianggap sebagai dewa terbesar, terletak di ka’bah; Latta, dewa tertua terletak di Thaif; Uzza, bertempat di Hijaz, kedudukannya berada di bawah Hubal, dan Manat ibertenpat di Yatsrib. Berhala itu mereka jadikan tempat menanyakan dan mengetahui nasib baik dan buruk.[12]

  1. 5. Politik
Sebagaimana disebut di atas bahwa di Jazirah Arab banyak terdapat kerajaan-kerajaan. Bangsa Arab di sekitar Mekkah, khususnya suku Quraisy, mengembangkan system pemerintahan oligarki (pemerintahan oleh kelompok atau beberapa orang saja),[13] yang membagi-bagi kekuasaan berdasarkan bidang-bidang tertentu. Ada kabilah tertentu yang bertugas menangani masalah peribadatan, ada yang bertugas menangani bidang pertahanan, adapula yang bertugas dalam pengembangan perekonomian. Beberapa Departemen yang terdapat dalam pemerintahan kota Mekkah antara lain: [14]
  1. al-Hijabah,bertugas sebagai pengurus dan penjaga kunci ka’bah.
  2. as-Siqayah, bertugas sebagai pengawas mata air zamzam untuk dipergunakan oleh para peziarah. al-Diyat, bertugas sebagai hakim sipil dan kriminal.
  3. al-liwā’, bertugas untuk mengurusi bendera kalau mereka dalam bahaya ataupun akan perang.
  4. ar-Rifadah, bertugas sebagai pengurus pangan rakyat, terutama untuk konsumsi para jama’ah haji.
  5. an-Nadwah, bertugas mengurus perundang-undangan peraturan pemerintah dan politik.
  6. 6. al-Qayadah, bertugas mengurusi ketentaraan dan kepolisian, sebagai keamanan negara dan rakyat.[15]
  7. C. Masa Nabi Muhammad
Pada saat kondisi politik, ekonomi, sosial dan agama baik di Barat maupun Timur sangat kacau, lahir seorang tokoh besar sepanjang masa yang membangun kekuatan Islam di antara dua kekuasaan besar dunia di Jazirah Arab, sebagai rahmatan lil ā’lamĪn yaitu Nabi Muhammad.[16] Dia lebih dari tokoh religius terdahulu- seperti Isa, Musa atau Ibrahim- Nabi Muhammad menjalani hidupnya dalam terang cahaya sejarah. Dia bukanlah tokoh miotologis maupun tokoh setengah dewa, tetapi manusia yang hidup seperti orang-orang lainnya.[17]
Nabi Muhammad adalah anggota Bani Hasyim, salahsatu klan dari suku Quraisy yang mendominasi Mekkah. Mekkah adalah sebuha daerah dengan tanah yang luas terdiri dari padang pasir dan gunung, dimana suku Badui pengembara menempuh kehidupan yang sulit. Kebiasaan-kebiasaan sosial mereka mencerminkan situasi ekologis yang, dalam arti sosisologis, membantu membentuk mereka. Keluarga besar atau klan adalah inti masyarakat. Beberapa klan membentuk suatu suku. Masing-masing suku dipimpin seorang kepala suku. Aturan-aturan suku menyerap dalam masyarakat.
Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabiul Awwal, ayahnya, Abdullah, wafat sebelum ia lahir, sedangkan ibuya, Aminah menemui ajal saat usianya masih enam tahun. Sosok Muhammad dikenal sebagai orang yang berbudi luhur, berkepribadian kuat, dan sebagai al-Amien. Karena setiap amanah yang dipercayakan kepadanya dapat diselesaikan. Saat usia 12 tahun, Muhammad diamanahkan oleh Khodijah, seorang saudagar Mekkah untuk menjalankan dagangannya bersama pamannya Abu Thalib ke negeri Syam. Demikian juga saat usia 25 tahun perdaganagan yang di bawanya memberikan keuntungan amat besar pada majikannya, Khadijah—yang dinikahi oleh Muhammad saat Khadijah berumur 40 tahun–.
Pada masa dewasa Muhammad melihat situasi masyarakat Mekkah yang semakin jauh dengan prinsip kebenaran, banyak sekali prilaku-prilaku yang menyimpang. Masyarakat Makkah digerogoti oleh disparutas sosial dan ekonomi yang akut, kebusukan moral dan kebobrokan agama. Kekerasan adalah hukum di mana suku-suku yang kuat menaklukan dan memperbudak suku-suku lemah. Anak-anak yatim kelaparan, janda-janda, para budak dan orang-orang buangan berkumpul di Mekkah dan dieksploitasi oleh para lintah darat, bangsawan dan pedagang. Para agamawan meyalahtafsirkan kita-kitab suci dan menerapkannya kepada kaum miskin serta membiarkan orang-orang kaya dan berkuasa melakukan suap.[18]
Di tengah kegaluannya atas masyarakat Mekkah, Muhammad memutuskan untuk melakukan kontemplasi agar dengan melakukan kontemplasi tersebut dia mendapatkan pencerahan. Dalam proses melakukan kontemplasi akhirnya pada usia 40 tahun Muhammad diamanahi oleh Allah untuk menjadi Nabi dan Rasul Allah. Ditandai dengan penerimaan wahyu pertama surat al-Alaq:1-5. Dengan statusnya sebagai Nabi, Muhammad mengemban tugas untuk melakukan dakwah kapada masyarakat Mekkah. Orang-orang pertamakali menyatakan kesediaan mengikutinya adalah Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar dan Zaid bin Harish. Dengan demikian, pendukung pertama perjuangan Muhammad adalah keluarganya sendiri. Kehidupannya dapat bagi menjadi dua priode yaitu periode Mekkah dan periode Madinah.
Setelah dakwahnya berjalan tiga tahun secara diam-diam, Allah memerintahkan untuk menyiarkan Islam secara terang-terangan. Beliau melakukan dakwah terang-terangan dan menyerukan kepada masyarakat Mekkah yaitu kaum Quraisy untuk memeluk agama Islam. Pada mulanya mereka tidak menghiraukannya akan tetapi lama-kelamaan suku Quraisy merasa terancam dengan berkembangnya dakwah Islam, diantaranya dengan memutuskan hubungan antara kaum muslimin dan suku Quraisy, menyiksa mereka yang lemah (sampai-sampai ada yang dibunuh, seingga Rasulullah memeritahkan untuk hijrah ke Hansyi). Ahmad Syalabi mencatat ada lima faktor yang medorong kaum Quraisy menetnang seruan Islam, yaitu sebagai berikut:[19]
  1. Mereka tidak dapat membedakan antara kenabian dan kekuasaan. Mereka beranggapan, bahwa tunduk kepada nabi Muhammad berarti tunduk kepada kepemimpinan Bani Abdul Muthalib. Yang terakhir ini mereka tidak inginkan sama sekali.
  2. Dakwah Nabi yang menyamakan keududukan/derajat bangsawan dengan hamba sahaya, yang membedakan hanya ketakwaan di sisi Allah (Q.S. 49:13).
  3. Para pemimpin mereka tidak dapat menerima ajaran tentang kebangkitan kembali dan pembalasan di akhirat.
  4. Taklid terhadap nenek moyang adalah kebiasaan yang mengakar pada bangsa Arab.
  5. Pemahat dan penjual patung memandang Islam sebagai penghalang rizki mereka.
Gibb, islamisis barat dalam bukunya mengatakan bahwa: perlawanan yang dilancarkan kaum Mekkah bukanlah disebabkan sikap keras kepala mereka akan ajaran yang disampaikan oleh Nabi (meskipun mereka mencemooh ajaran tentang kebangkitan manusia dari kubur), namun karena alasan-alasan ekonomi dan politik. Mereka khawatir ajaran yang disampaikan Nabi bisa mengancam kemakmuran ekonomi mereka, dan khususnya ajaran monotheisme murninya bisa menghancurkan aset ekonomi yang mereka kuasai. Disamping itu, mereka juga sadar bahwa pengakuan mereka terhadap ajaran Muhammad akan memunculkan suatu bentuk kekuasaan politik baru dalam masyarakat oligarki yang mereka bentuk saat ini.[20]
Mereka tidak berani menyakiti nabi karena ia mendapat perlindungan dari pamannya, Abu Thalib, yang disegani oleh kaum Quraisy. Abu Thalib termasuk tokoh yang membela dan membenarkan Islam tetapi tidak mengikutinya. Akan tetapi Rasul menghadapi kesulitan yang berat ketika pembela utamanya, Abu Thalib dan Istri yang setia berjuang bersamanya Khadijah, meninggal dunia. Sepeninggalan Abu Thalib, orang-orang Quraisy semakin keras mengganggu Rasulullah. Nabi akhirnya memilih menyiarkan agama ke luar dari Mekkah, yaitu ke Thaif. Akan tetapi mendapat penolakan, bahkan mereka menyakitinya.[21]
Di daerah lain, di kota Yastrib sering terjadi perperangan antar suku, antara Bani Bakar dan Bani Taghlib, yang telah berlangsung selama 40 tahun, adapun permasalahannya hanya sepele yaitu saling mengejek dalam ajajng pacuan kuda. Demikian pula Perang Bu’ath yang terjadi antara suku Aus dan Khazraj. Setelah lelah berperang mereka mencoba untuk melakukan perdamaian dengan mengundang Muhammad ke Yastrib sebagai pendamai/penengah di antara mereka.[22] Karena mendapat undangan dari masyarakat yastrib untuk mendamaikan perperangan antara suku, Muhammad berinisiatif melakukan hijrah bersama pengikut-pengikutnya.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa faktor utama hijrah Muhammad ke Yastrib bukanlah semata-mata karena siksaan kaum Quraisy akan tetapi Nabi memenuhi undangan untuk datang ke sana sebagai pendamai. Adapun undangan resmi dari masyarakat Yastrib sebanyak dua kali, di samping itu penduduk Mekkah tidak banyak berubah, maka Allah memerintahkan Radul untuk hijrah ke Yastrib.

  1. D. DAFTAR PUSTAKA
Ahmed, Akbar S.,  Rekonstruksi Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Fajar, 2006)
Amin, Ahmad, Fajr Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1975),
an-Nadwi, Abul Hasan ‘Ali al-Hasani, Sirah Nabawiyah, terj. M. Halabi Hamdi, cet ke-8 (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2007)
Gibb, H.A.R, Muhammadism, (London, 1919)
Guralnik, David B., Webster’s New World Dictionary (New York: The World Publishing Company, 1964)
Haque, Ziaul, Wahyu dan Revolusi, pen. E. Setyawati al-Khattab (Yogyakarta: LKis, 2000)
Karim, Abdul, Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007)
___________, Persoalan Agama dalam Perang, Jurnal Tsaqa Faiyyat. Vol. 4 No.1 Januari-Juni, 2003 (2)
Khalil, Moenawar, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, jld I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 40
Lapidus, Ira. M., Sejarah Sosial Ummat Islam, pen. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Rajawali Press, 1999)
Matdawan, M. Noor, Lintasan Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bina Karier, 1984)
Muntoha dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 2002)
Rahman, Shaikh Muhammad Lutfar, Islam (Dhaka: Bangla Academy, 1977)
Syalabi, Ahmad, Sejarah Kebudayaan Islam, Vol. III (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997)
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, cet 8 (Jakarta: Rajawali Press, 1998)


[1] Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, pen. E. Setyawati al-Khattab (Yogyakarta: LKis, 2000) hlm. 5
[2] Ira. M. Lapidus, Sejarah Sosial Ummat Islam, pen. Ghufron A. Mas’adi, (Jakarta: Rajawali Press, 1999), hlm. 15.
[3] Ahmad Amin, Fajr Islam, (Kairo: Maktabah al-Nahdhah al-Mishriyah, 1975), hlm. 1-2
[4] Abul Hasan ‘Ali al-Hasani an-Nadwi, Sirah Nabawiyah, terj. M. Halabi Hamdi, cet ke-8 (Yogyakarta: Mardhiyah Press, 2007), hlm. 58.
[5] Abdul Karim, Sejarah PEmikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007) hlm. 50.
[6] Shaikh Muhammad Lutfar Rahman, Islam (Dhaka: Bangla Academy, 1977) hlm. 1, Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 50
[7] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 53.
[8] Rahman, Islam, hlm. 2-3
[9] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 54
[10] Ibid, hlm. 56
[11] M. Noor Matdawan, Lintasan Sejarah Kebudayaan Islam, (Yogyakarta: Yayasan Bina Karier, 1984) hlm. 32-33
[12] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, cet 8 (Jakarta: Rajawali Press, 1998), hlm. 15-16
[13] David B. Guralnik, Webster’s New World Dictionary (New York: The World Publishing Company, 1964) hlm. 521, Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 54
[14] Abul Hasan, Sirah Nabawi, hlm. 82-83
[15] Moenawar Khalil, Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad, jld I, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001) hlm. 40
[16] Abdul Karim, Sejarah Pemikiran, hlm. 62
[17] Akbar S. Ahmed, Rekonstruksi Sejarah Islam, (Jakarta: Pustaka Fajar, 2006), hlm. 21
[18] Ziaul Haque, Wahyu dan Revolusi, hlm. 218
[19] Ahmad Syalabi, Sejarah Kebudayaan Islam, Vol. III (Jakarta: Al-Husna Zikra, 1997) hlm. 87-90
[20] H.A.R Gibb, Muhammadism, (London, 1919), hlm. 17
[21] Muntoha dkk, Pemikiran dan Peradaban Islam, (Yogyakarta: UUI Press, 2002) hlm. 21-22
[22] Abdul Karim, Persoalan Agama dalam Perang, Jurnal Tsaqa Faiyyat. Vol. 4 No.1 Januari-Juni, 2003 (2): hlm. 114-115.