Senin, 11 November 2019

IJARAH

A. Definisi Ijarah
Dalam lingkup muamalah terdapat transaksi dalam bentuk sewa-menyewa. Dalam ilmu Fikih muamalah, transaksi dalam bentuk sewa-menyewa disebut dengan Ijarah. Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang atau jasa dengan membayar imbalan tertentu.
Al-Ijarah berasal dari kata al-ajru, yang berarti al-iwadhu (pengganti). Menurut pengertian syara’ al-ijarah adalah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan pengganti.
Al-ijarah adalah akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan atas barang itu sendiri.
Adapun secara terminologi, para ulama Fikih berbeda pendapat, antara lain yaitu:
1. Menurut Sayyid Sabiq, ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi untuk mengambil manfaat dengan jalan memberi penggantian.
2. Menurut ulama Syafi’iyah, ijarah adalah suatu jenis akad atau transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan boleh dimanfaatkan dengan caramemberi imbalan tertentu.
3. Menurut Amir Syarifuddin, ijarah secara sederhana dapatdiartikan dengan akad atau transaksi manfaat atau jasa dengan imbalan tertentu. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari suatu benda disebut ijarah al’Ain, seperti sewa-menyewa rumah untuk ditempati. Bila yang menjadi objek transaksi adalah manfaat atau jasa dari tenaga seseorang disebut ijarah ad-Dzimah atau upah-mengupah, seperti upah pekerja. Sekalipun objeknya berbeda keduanya dalam konteks fikih disebut ijarah.
4. Menurut Fuqaha Hanafiyah, ijarah adalah akad atau transaksi terhadap manfaat dengan memberikan imbalan.
5. Menurut Fuqaha Malikiyah dan Hambaliyah, ijarah adalah pemilikan manfaat suatu harta benda yang bersifat mubah selama periode waktu tertentu dengan suatu imbalan.
Dari definisi-definisi di atas dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan prinsip di antara para ulama dalam mengartikan ijarah atau sewa-menyewa. Dan dapat disimpulkan bahwa ijarah atau sewa-menyewa adalah akad atas manfaat dengan imbalan. Objek sewa-menyewa adalah manfaat atas suatu barang. Pihak pemilik yang menyewakan manfaaat sesuatu disebut mu’ajjir. Adapun pihak yang menyewa disebut musta’jir dan sesuatu yang diambil manfaatnya disebut ma’jur. Sedangkan jasa yang diberikan sebagai imbalan atas manfaat tersebut disebut ujrah atau upah.
B. Dasar Hukum Ijarah atau Sewa-menyewa
Hukum asal ijarah menurut para Ulama adalah mubah atau boleh bila dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh syara’, yakni berdasarkan Al-Qur’an, Hadis Nabi, dan Ketetapan Ijma’ Ulama.
1. Al-Qur’an
Dalam surat Al-Kahfi ayat 30
Artinya:
“Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak akan menyia-nyiakan pahala orang-orang yang mengerjakan amalan(nya) dengan yang baik”.
Ayat di atas menjelaskan bahwa balasan terhadap pekerjaan yang telah dilakukan manusia pasti Allah akan membalasnya dengan adil. Allah tidak akan berlaku dzalim dengan menyia-nyiakan amal hamba-Nya.
فَإِنْ أَرْضَعْنَ لَكُمْ فَآتُوهُنَّ أُجُورَهُنَّ
Artinya:
“Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka”. (QS. At-Thalaq: 6)
2. Hadis Nabi
Hadis-hadis Rasulullah SAW yang membahas tentang ijarah di antaranya diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibnu Umar, bahwa Nabi bersabda yang artinya:
“Dari Abdullah bin Umar ia berkata: telah bersabda Rasulullah SAW “berikanlah upah pekerja sebelum keringatnya kering”. (HR. Ibnu Majah)
Terdapat juga pada hadis riwayat Abd Razaq dari Abu Hurairah Rasulullah SAW bersabda yang artinya:
“Barangsiapa yang meminta untuk menjadi buruh, beritahukanlah upahnya”. (HR. Abd Razaq dari Abu Hurairah)
3. Ijma’
Para Ulama sepakat bahwa ijarah itu diperbolehkan dan tidak ada seorang Ulama pun yang membantah kesepakatan ijma’ ini. Karena Allah SWT telah mensyariatkan bahwa ijarah ini bertujuan untuk kemaslahatan umat, dan tidak ada larangan untuk melakukan kegiatan ijarah.
Dengan demikian, berdasarkan Al-Qur’an, hadis dan ijma’ Ulama dapat ditegaskan bahwa hukum ijarah atau sewa-menyewa adalah mubah atau boleh dilakukan dalam Islam dimana harus sesuai dengan syara’.
C. Rukun dan Syarat Ijarah
1. Rukun Ijarah
Menurut Hanafiyah, rukun dan syarat ijarah itu hanya ada satu, yaitu ijab dan qabul (pernyataan dari orang yang menyewa dan orang yang menyewakan). Sedangkan menurut jumhur Ulama, rukun ijarah yang harus dipenuhi dalam transaksi adalah :
a) Pelaku akad (aqid), yaitu musta’jir (penyewa) adalah pihak yang menyewa aset dan mu’ajjir (pemilik) adalah pihak pemilik yang menyewakan aset.
b) Objek akad, yaitu ma’jur (aset yang disewakan) dan ujrah (harga sewa).
c) Sighat yaitu ijab dan qabul.
d) Manfaat
2. Syarat Ijarah
a) Syarat kelangsungan akad
Untuk kelangsungan akad ijarah disyaratkan terpenuhinya hak milik atau wilayah kekuasaan. Apabila si pelaku (aqid) tidak mempunyai hak kepemilikan atau kekuasaan wilayah, maka menurut Syafi’iyah dan Hambaliyah akadnya tidak bisa dilangsungkan dan hukumnya tidak batal.
b) Syarat sah ijarah
Menurut M. Ali Hasan syarat sah ijarah adalah :
1) Syarat bagi kedua orang yang berakad adalah telah baligh dan berakal (Mazhab Syafi’i dan Hambali). Jadi, apabila orang itu belum baligh atau tidak berakal seperti anak kecil atau orang gila maka ijarahnya tidak sah. Berbeda dengan Mazhab Hanafi dan Maliki bahwa orang yang melakukan akad, tidak harus mencapai usia baligh, tetapi anak yang telah mumayyiz pun boleh melakukan akad ijarah dengan ketentuan disetujui oleh walinya.
2) Kedua belah pihak yang melakukan akad menyatakan kerelaannya untuk melakukan akad ijarah itu, apabila salah seorang keduanya terpaksa melakukan akad maka akadnya tidak sah.
3) Manfaat yang menjadi objek ijarah harus diketahui secara jelas, sehingga tidak terjadi perselisihan di antara keduanya. Jika manfaatnya tidak jelas, maka akad ijarah tidak sah.
4) Objek ijarah itu dapat diserahkan dan dipergunakan secara langsung dan tidak ada cacat yang menyebabkan terhalangnya pemanfaatan atas benda yang disewa tersebut.
5) Objek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’. Ulama Fikih berpendapat bahwa tidak boleh menggaji tukang sihir, tidak boleh menyewa orang untuk membunuh (pembunuh bayaran), tidak boleh menyewakan rumah untuk tempat berjudi atau tempat pelacuran.
D. Menyewakan Barang Sewaan
Menurut Sayyid Sabiq, penyewa diperbolehkan menyewakan lagi barang sewaan tersebut pada orang lain, dengan syarat penggunaan barang tersebut sesuai dengan penggunaan yang dijanjikan ketika akad awal. Misalnya, penyewaan seekor binatang, ketika akad awal dinyatakan bahwa binatang itu disewa untuk membajak sawah. Kemudian binatang tersebut disewakan lagi kepada penyewa kedua, maka binatang itu juga harus digunakan untuk membajak sawah. Penyewa pertama boleh menyewakan barang sewaan lagi dengan harga serupa pada waktu ia menyewaa tau kurang sedikit atau bahkan lebih mahal dari harga penyewaan pertama. Hal ini boleh-boleh saja dilakukan dan berlaku juga untuk penyewaan barang lainnya seperti penyewaan rumah, kendaraan, dan alat-alat musik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar